Langsung ke konten utama

Unggulan

CONTOH SKRIP ROLE PLAY MEDIATOR DALAM PROSES MEDIASI

  CONTOH SKRIP ROLE PLAY MEDIATOR DALAM PROSES MEDIASI Oleh: Dr. Hj. Marni Emmy Mustafa, S.H., M.H. Ice breaking Assalamualaikum wr. wb. selamat siang Bapak dan Ibu di pertemuan mediasi. apa kabar? semoga bapak dan ibu berdua berada dalam keadaan sehat. bagaimana perjalanan kesini, apakah lancar? Memperkenalkan diri sendiri terima kasih bapak dan ibu sudah sepakat menunjuk kami sebagai mediator yang sudah ditetapkan (kalau di pengadilan penunjukkan majelis hakim, kalau di luar pengadilan penunjukan para pihak) sebelumnya dan untuk memfasilitasi kendala diantara bapak dan ibu.  izinkan saya memperkenalkan diri bertindak sebagai mediator. nama saya Ahmad, saya seorang mediator yang bersertifikat dan profesional dari lembaga mediasi PERPAHI di Jakarta. saya sudah praktek selama 5 tahun dan sudah banyak melakukan mediasi yang berhasil. saya yang akan membantu bapak dan ibu memecahkan persoalan-persoalan bapak ibu yang ada disini. pertemuan mediasi ini cukup fleksibel. kami ingin m...

Integrasi Sistem dan Kelembagaan Pelaksanaan Putusan Perkara Perdata Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)


Oleh: Dr. Hj. Marni Emmy Mustafa, S.H., M.H *)

 

1.    Pendahuluan

Sesuai dengan Term Of Reference (TOR) Panitia FGD Pusdiklat Litbang Mahkamah Agung meminta saya untuk menjadi narasumber dengan judul: “Integrasi Sistem Dan Kelembagaan Pelaksanaan Putusan Perkara Perdata Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap” dengan rumusan masalah yang ditentukan yaitu: 1. Perlukah Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk memerintahkan lembaga atau instansi lain dalam pelaksanaan putusan perdata?; 2. Bagaimanakah sistem pemberian informasi kepada Pengadilan terkait pelaksanaan putusan perkara perdata?; 3. Apa yang menjadi landasan hukum kewenangan Pengadilan dalam memerintahkan lembaga / instansi lainnya dalam memberikan informasi yang dibutuhkan Pengadilan untuk pelaksanaan putusan perkara perdata?, selanjutnya dalam penguraian berikut penulis akan  membatasi uraian sesuai dengan judul tersebut.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur Kekuasaan Kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, bebas dari campur tangan pihak Kekuasaan extra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945[1], dan hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian Pengadilan.[2]

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, maka sudah waktunya untuk memikirkan dan menerapkan yang sesuai dengan pola hukum berdasarkan Pancasila, dengan tidak meninggalkan sistem hukum dan “legal frame work” yang bersifat universal ilmiah agar tidak menimbulkan keguncangan dan ketidakpastian hukum. Apabila berdasarkan ajaran “Stufentheorie” dari Kelsen yang berpendapat bahwa tatanan hukum itu berlandaskan pada suatu “Grundnorm” sebagai kaedah hukum tertinggi, maka di Indonesia Pancasila-lah yang merupakan “Grundnorm” daripada hukum Indonesia. Sistim formal (formele stelselmatigheid) dari hukum yang bersifat ilmiah universal tetap berlaku, sedangkan sistem material (materiele stelselmatigheid) hukum kita cari, yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita yakni filsafah dan pandangan hidup Pancasila. Untuk itu perlu digiatkan karya penemuan hukm berupa “Oosterse vertolking” (penampilan keTimuran) dan Oosterse vondsten” (penemuan keTimuran). [3]   

Pancasila dan UUD 1945 merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang bersifat majemuk perekat-pemersatu negara dan bangsa Indonesia. Walaupun rakyat Indonesia serba ber-”Bineka” namun tetap “Tunggal Ika” berkat Pancasila dan UUD 1945.

Pada suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk dan demokratik, yang implisit mengunggulkan cara penyelesaian konflik lewat upaya dialogik untuk menemukan konsensus, realitas tentang adanya kebudayaan yang majemuk harus diterima sebagai sesuatu yang given, yang tidak bisa dihindari. Memaksakan keseragaman nilai, norma ataupun konsep berdasarkan kekuatan undang-undang, dengan mekanisme kontrol yang sentral, hanya akan melahirkan kontroversi-kontroversi. Penyeragaman konsep tentang realitas kultural yang sebenarnya relatif adalah suatu tindakan yang tak hanya berkesan otokratik dan sentralistik, akan tetapi juga merupakan kebijakan yang tidak menghormati the cultural rights of the people yang terkandung dalam prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia, yang dijamin tegaknya oleh konstitusi nasional, dan juga oleh Kovenan Internasional berikut protokolnya. Hukum yang ideal adalah hukum yang (dalam bentuk undang-undang sekalipun) akan tetap berkarakter responsif dan fasilitatif untuk mengakomodasi kebutuhan rakyat yang tengah mendambakan kehidupan yang damai dan sejahtera, tanpa adanya perlakuan-perlakuan yang diskriminatif dan tidak sekali-kali dirasakan sebagai sesuatu yang adil. Undang-undang seperti itu akan gagal memajukan terwujudkannya kehidupan yang damai dan sejahtera, yang terbebas dari segala bentuk penindasan terhadap hak kultural warga masyarakat dari satu tempat ke tempat lain.[4]

Sistem Peradilan di Indonesia sekarang mewarisi suatu sistem yang pada hakikatnya bersifat liberal individual dimana perlindungan dan penyelamatan serta kemerdekaan individu menjadi ideologi, sedangkan amanat dari UUD 1945 sistem peradilan yang diharapkan adalah ideologi yang didasarkan pada asas kekeluargaan yang sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu ideologi Pancasila yang berdasarkan kekeluargaan. Ideologi kekeluargaan menjadi penentu kearah mana tujuan reformasi peradilan di Indonesia.[5]

Tugas/fungsi Hakim/Kekuasaan Kehakiman dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengatur – mengenai tugas pokoknya yakni tugas mengadili apabila terjadi sengketa/pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antara sesama warga masyarakat (perseorangan maupun badan hukum) maupun antara perseorangan dengan penguasa (badan hukum atau publik), ataupun antara badan-badan administrasi satu sama lain.

Dalam negara hukum maka setiap sengketa hukum atau perkara sebaiknya diselesaikan secara adil oleh suatu badan Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pihak ketiga yang bersifat bebas, merdeka serta netral dan yang diberi kewibawaan untuk secara bebas dapat mempertimbangkan segala sesuatunya secara adil dan obyektif dan tidak memihak dan yang putusannya/penyelesaiannya bersifat mengikat.[6]

Ketika terjadi sengketa perdata antara satu pihak dengan pihak lain, penyelesaian sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan. Para pihak yang berperkara memiliki harapan bukan hanya mendapatkan putusan atas perkara yang diajukan, tetapi juga kepastian hukum dan keadilan atas penyelesaian sengketanya. Besarnya biaya berperkara yang dikeluarkan dan lamanya waktu yang ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan diharapkan akan akan mendapatkan pemulihan hak-haknya, untuk kemudian dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah.

Eksekusi akhir dari pelaksanaan putusan pengadilan, para pihak yang berperkara memiliki harapan untuk mendapat penyelesaian perkara secara cepat untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan.  Dalam tataran implementasi, tidak semua pihak yang kalah mau secara sukarela melaksanakan amar putusan, sehingga dibutuhkan bantuan dari alat negara, dalam hal ini pengadilan, untuk melakukan tindakan-tindakan memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan (eksekusi).

Beberapa kendala dan hambatan dalam pelaksanaan eksekusi antara lain aturan hukum yang saat ini berlaku masih merupakan warisan dari zaman Belanda dahulu, untuk perlu pembaharuan hukum acara perdata, salah satu fungsi hukum adalah mendefinisikan hubungan antara anggota-anggota dalam masyarakat. Di sini berlaku postulat ubi societas ibi ius. Artinya, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dalam konteks ini hukum menegaskan perbuatan-perbuatan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Di satu sisi, hukum mengatur aktivitas antara individu dan kelompok dalam masyarakat hukum. Hal ini disebut sebagai horizontal direct effect. Di sisi lain, hukum mengatur hubungan antara individu dengan negara sebagai vertical direct effect.[7]

Saat ini RUU Hukum Acara Perdata telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) untuk melakukan pembaharuan hukum acara perdata HIR dan RBg produk zaman kolonial Belanda yang menggunakan pola pikir dan pengertian hukum Barat, diharapkan agar hukum acara perdata yang baru dapat memikirkan berdasarkan pola pikir hukum Indonesia sendiri, dengan menggali dan menemukan penemuan hukum oleh bangsa Indonesia sendiri mengenai hukumnya sendiri. Reformasi Pengadilan dan peradilan kita hendaknya berakar pada kosmologi dan habitat Indonesia. Misalnya, suatu perubahan mendasar yang dilakukan “peradilan rekonsiliatif”, “peradilan restoratif“, menunjukan bahwa memang dirasakan keperluan untuk membangun satu model peradilan yang lebih berakar pada kosmologi Indonesia.[8]

Di samping hambatan dan kendala eksekusi di bidang peraturan perundang-undangan, beberapa hambatan lain diantaranya faktor sumber daya manusia, faktor sarana dan prasarana, faktor dukungan keamanan, dan lain-lain.

2.    Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah:

1.    Perlukah Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk memerintahkan lembaga atau instansi lain dalam pelaksanaan putusan perdata?

2.    Bagaimanakah sistem pemberian informasi kepada pengadilan terkait pelaksanaan putusan perkara perdata?

3.    Apa yang menjadi landasan hukum kewenangan pengadilan dalam memerintahkan lembaga / instansi lainnya dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pengadilan untuk pelaksanaan putusan perkara perdata?

 

3.    Pembahasan

Pengadilan adalah sebuah lembaga publik yang diberi kewenangan dan kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili perkara, tidak ada kekuasaan lain yang diberi kewenangan seperti itu, Pengadilan tidak hanya punya legalitas tetapi juga legitimitas, secara sederhana bahwa pengadilan membutuhkan kepercayaan rakyat melalui eksaminasi publik terhadap putusan – putusan Pengadilan.

Eksekusi yang merupakan produk putusan Hakim , dalam memutus perkara  diperlukan kenegaraan para hakim ukurannya kenegaraan  apakah dalam menjalankan pekerjaannya, seseorang itu di tuntun oleh wawasan yang luas dan jauh kedepan  menyangkut bangsanya  apakah putusan para hakim  membawa berkah bagi bangsa dan  negara yang juga memiliki kecintaan kepada bangsa dan tanah air.[9]

Dalam membuat putusan hukum yang baik in concreto, hakim memang wajib “mengingati” dan merujuk ke pasal-pasal yang akan dijadikan dasar hukum untuk memutus suatu perkara. Namun begitu, hakim juga harus “menimbang” dan “memperhatikan” hal-hal lain, yang dapat dipertimbangkan untuk memutus perkara. Lebih dari itu, hakim pun dalam kapasitasnya sebagai pengadil yang tak hanya berkewajiban membuat putusan yang benar secara yuridis akan tetapi juga adil menurut tolok ukur yang hidup sebagai moral sosial, maka putusan yang demikian akan dapat diterima, tidak hanya oleh para pihak akan tetapi juga oleh masyarakat pada umumnya.[10]

Paradigma kerja hakim di negeri-negeri berkembang yang berkultur majemuk sudah waktunya berubah dan diubah. Hakim bukanlah lagi sebatas bereksistensi sebagai mulut yang menyembunyikan kalimat-kalimat undang-undang. Hakim pun bukanlah piranti yang dirancang untuk berlogika dan bekerja secara mekanik, melainkan manusia seutuhnya yang puny kepekaan pada ihwal kemanusiaan dan kepedulian sosial Kalaupun hakim harus bisa membaca bunyi kata-kata yang tertera secara tekstual di buku undang-undang, hakim pun harus pula belajar dan pandai membuat interpretasi[11] yang tidak harfiah, yang konotatif, agar mampu mengungkap norma-norma sosial yang secara kontekstual melatari setiap preskripsi undang-undang.

Berbeda dengan hukum undang-undang yang berada di ranahnya yang in abstracto, putusan-putusan hakim adalah hukum yang dibentuk atau dibuat di ranahnya yang in concreto, yang lebih kontekstual dan yang secara kultural dan moral lebih situasional. Hakim modern yang terdidik untuk melayani kebutuhan hukum masyarakat yang berkultur majemuk bukanlah kepanjangan tangan badan legislatif. Hakim yang bertugas di daerah-daerah sangat diharapkan akan dapat memainkan peran sebagai agen yang mampu mengantar hukum undang-undang yang diproduksi di pusat untuk ditransformasi ke dalam suatu ekpresi kearifan dan keadilan yang bisa diterima oleh warga masyarakat setempat. Penugasan hakim di daerah-daerah tatkala harus menyelesaikan perkara-perkara setempat sebenarnya sangat strategis. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, lain negeri lain pula kaidah yang mesti dipakai untuk mengukur mana yang hak mana yang batil.[12]

 

3.1  Pengertian Eksekusi

Eksekusi dengan istilah pelaksanaan putusan yang dalam HIR Bab kesepuluh bagian kelima, pengertian eksekusi disebut dengan istilah menjalankan putusan.[13] Menjalankan putusan pengadilan, melaksanakan isi putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela.[14]

Eksekusi ialah pelaksanaan putusan pengadilan, merupakan akhir dari penyelenggaraan tugas peradilan dirumuskan dalam pasal 2 dan pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan drai keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBg.[15]

Setiap pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan selalu mengandung corak dan cara penyelesaian yang bersifat kasuitis, dan setiap berbagai macam sifat kasuitis yang melekat pada eksekusi terkadang tidak mungkin terselesaikan semata-mata berdasar ketentuan perundang-undangan yang ada. Hampir setiap eksekusi memakai cara penyelesaian tersendiri yang membutuhkan pengkajian dan profesionalisme.[16]

3.2  Dasar Hukum Eksekusi

Eksekusi diatur dalam hukum acara perdata produk pemerintah Hindia Belanda yang masih bersifat dualistis atau dualisme karena untuk Jawa dan Madura berlaku Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan untuk luar Jawa dan Madura berlaku Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg).

Eksekusi diatur dalam pelbagai perundang-undangan mengenai hukum acara perdata, yakni khususnya Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR (untuk pulau Jawa dan Madura) serta Pasal 206sampai 258 RBg (untuk daerah luar Jawa-Madura) dengan beberapa pengecualian yang diatur dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (misalnya tentang tidak diperlakukannya lembaga sandera Gijzeling). Disamping itu berlaku pula Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBg yang mengatur tentang eksekusi untuk menjalankan perbuatan tertentu dan Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBg yang mengatur tentang putusan yang dapat dijalankan secara serta-merta (uit overbear bij voorraad).

Selain itu untuk memenuhi kebutuhan dalam praktek kadang-kadang dipergunakan ketentuan dalam hukum acara perdata barat BRV untuk menyelesaikan eksekusi perkara in concreto, misalnya ketentuan tentang hipotik dalam BW, maupun ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam mengeksekusi putusan kadang-kadang harus diperhatikan juga Undang-Undang No. 49 Tahun 1960 tentang PUPN.

Juga perlu ditaati Peraturan Lelang No. 213/PMK. 06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dalam hal diperlukan penjualan lelang pada waktu melakukan eksekusi putusan. Demikian juga harus diterapkan peraturan mengenai kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU apabila mengeksekusi orang/badan hukum yang dinyatakan pailit.

Selanjutnya diatur di dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 54 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2010 tentang Permintaan Bantuan Eksekusi dan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU jo. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemeriksaan Keberatan Terhadap Putusan KPPU.

3.3  Asas-Asas Hukum Eksekusi

a)    Eksekusi dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap apabila tereksekusi tidak melaksanakan putusan itu secara sukarela, dan menurut Pasal 180 HIR/ 191 RBG dimana suatu putusan dinyatakan dapat dilaksanakan secara serta-merta atau suatu tuntutan provisi dikabulkan.

b)    Yang dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif dan declaratoir tidak memerlukan eksekusi.

c)    Eksekusi dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh Panitera dan Jurusita dengan bantuan alat kekuasaan negara dimana diperlukan.

d)    Eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikadilan tetap terpelihara.

 

3.4  Macam-Macam Eksekusi

a)    Eksekusi riil yakni pelaksanaan secara nyata perbuatan yang dibebankan/ dihukum dalam amar putusan kepada tereksekusi, misalnya pengosongan rumah/tanah sengketa, pembongkaran tembok batas pekarangan dan sebagainya (Pasal 200 HIR/ 218 RBG).

b)    Eksekusi pembayaran sejumlah uang dilanjutkan eksekusi lelang bila tidak dibayar oleh tereksekusi (Pasal 196 HIR/2017 RBG)

c)    Eksekusi ganti rugi dalam hal eksekusi riil tidak dapat dilaksanakan (Pasal 225 HIR/259 RBG)

d)    Eksekusi putusan serta merta

e)    Eksekusi putusan perdamaian

f)     Eksekusi Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

 

4.    Hambatan Eksekusi

 

4.1  Faktor di Bidang Perundang-Undangan

HIR dan RBg sebagai hukum acara formil yang diberlakukan produk zaman Belanda untuk itu perlu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai usulan para ahli untuk reformasi pelaksanaan sistem tentang eksekusi untuk mencari solusi bagaimana pelaksanaan eksekusi bisa sesuai dengan harapan pencari keadilan.

Contohnya panggilan melalui Kepala Desa, pemberitahuan putusan yang sudah di cap stempel oleh Kepala Desa dianggap sah tanpa mempertimbangkan apakah Kepala Desa telah menyampaikan putusan itu, contoh lain tentang panggilan delegasi pernah terjadi panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat melalui panggilan delegasi. Itu memakan waktu lamanya 1 tahun padahal jarak yang dipanggil hanya beda satu gedung tetapi beda wilayah hukum pengadilan. Begitu juga dengan pemberitahuan putusan dan pemberitahuan lelang juga sistem tentang acara perdata verstek, pembuktian dan lain-lain yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dalam era revolusi industri 4.0.

Untuk memaksa pihak tereksekusi melaksanakan putusan pengadilan diperlukan aturan contempt of court sebagaimana praktek dalam sistem hukum common law. Contempt of court menurut kamus hukum adalah “setiap perbuatan yang dapat dianggap sebagai mempermalukan (embarrass), menghalangi, atau merintangi tugas peradilan dari badan-badan Pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan ini dilakukan oleh seseorang dengan sengaja untuk menentang atau melanggar kewibawaan atau martabat yang cenderung untuk menghalangi atau menggagalkan tugas peradilan, atau dilakukan oleh seseorang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili oleh Pengadilan yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah-perintahnya yang sah atau lalai melakukan perbuatan-perbuatan yang dibebankan kepadanya”[17].

Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang disampaikan oleh Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) di Komisi III DPR RI pada tanggal 16 Februari 2022, terdapat norma penguatan dalam RUU Hukum Acara Perdata, yaitu: 1) Pihak-pihak yang menjadi saksi dalam melakukan penyitaan, 2) Jangka waktu pengiriman permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi, 3) Kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke pengadilan negeri, 4) Kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke para pihak, 5) Syarat kondisi ketika Mahkamah Agung ingin mendengar sendiri para pihak atau para saksi dalam pemeriksaan kasasi, 6) Penguatan batas waktu pengiriman berkas perkara PK ke Mahkamah Agung, 7) Reformulasi pemeriksaan perkara dengan cara singkat, 8) Pemeriksaan acara pemeriksaan perkara dengan cara cepat dan, 9) Reformulasi jenis putusan. Dan penambahan norma yang muncul atas adanya kebutuhan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, antara lain: 1) Pemanfaatan teknologi dan informasi, pada saat pemanggilan pihak yang berperkara dapat dilakukan secara elektronik, juga dalam pengumuman penetapan, 2) Pemeriksaan perkara dengan cara cepat, kemudahan berusaha bukan hanya dipengaruhi oleh regulasi dan perizinan, tapi juga waktu tunggu yang dihabiskan dalam penyelesaian perkara di pengadilan.[18]

Dalam RUU yang sekarang sedang dibahas, hendaknya diatur penguatan untuk pelaksanaan eksekusi dengan para pihak-pihak yang tidak melaksanakan putusan pengadilan.

 

4.2  Faktor Sumber Daya Manusia (SDM)

Untuk memutuskan suatu perkara hakim harus mempunyai wawasan yang luas baik di bidang substantif maupun prosedural. Oleh karena itu, harus mempunyai “knowledge profesionals”, juga yang perlu diperhatikan harus rajin membaca sejarah dan teori perundang-undangan dan juga hakim memerlukan ilmu pengetahuan terapan (applied knowledge).[19]

Putusan hakim menjadi kendala ketika mau di eksekusi hakim yang memutusnya tidak teliti, contohnya kesalahan tentang nomor sertifikat, kesalahan nomor perkara, pada waktu melakukan pemeriksaan ditempat dibuat  gambar segi 4 saja, padahal di atas tanah tersebut berdiri banyak bangunan permanen yang telah puluhan tahun berdiri, memutus verstek tanpa bukti karena ada persekongkolan antara penggugat dan tergugat, memutus perkara berdasarkan undang-undang baru yang telah dicabut , bunyi/redaksi putusan tidak jelas , putusan yang saling bertentangan , Kalau hakim tidak teiliti banyaknya tanah negara jatuh ke tangan mafia pertanahan. Perlu ketelitian Ketua Pengadilan Negeri tentang sah tidaknya pemberitahuan putusan, pemberitahuan pengosongan dan lain-lain.

 Dalam buku “Dilema Eksekusi “karangan Dr.Herri Swantoro SH.MH,halaman  disebutkan ketidak telitian Ketua Pengadilan Luwuk sebagai berikut :

Eksekusi lahan di Tanjung Sari pada 19 Maret 2018 itu telah terjadi error in object. Menurut Bupati Banggai Herwin Yatim, ada pada dua lahan yang menjadi sengketa seluas 22m x 26,50m dan 6,70m x 13,35m (dua bidang tanah). Namun, dalam pelaksanaan eksekusi luasannya berkembang menjadi sekitar 6 hektare dan kemudian berkembang lagi menjadi sekitar 18 hektare. Herwin menjelaskan bahwa bukan hanya asset masyarakat yang menjadi korban, melainkan juga asset Pemerintah Daerah. Di antaranya kantor dinas tenaga kerja dan perumahan dinas pegawai transmigrasi. Kasus ini menjadi pembelajaran Bersama, terutama bagi Ketua Pengadilan Negeri (KPN) yang menangani kasus sengketa tanah. Dibutuhkan kecermatan saat menangani kasus seperti ini, apalagi jika menyangkut kasus yang berlarut-larut penyelesaiannya di Pengadilan. Makin berlarut-larutnya penyelesaian kasus menunjukkan ada banyak masalah rumit di dalamnya.[20]

Ada juga Jurusita yang nakal dalam menjalankan tugasnya contoh  dicatat dalam berita acara pemberitahuan pengosongan  bahwa orangnya tidak diketahui, diumumkan dalam koran yang kecil, ternyata orang yang akan di eksekusi ada dalam tanah dan rumah  yang akan dikosongkan tersebut .

 Masih terdapat Jurusita yang belum memahami ketentuan pada saat eksekusi, terutama mengenai eksekusi riil, belum seimbangnya dukungan/ pengembangan dan minim peningkatan kapasitas / kompetensi Panitera, Jurusita sebagai pelaksana eksekusi. 

4.3  Faktor Sarana dan Prasarana

Adapun yang dimaksud dengan faktor sarana dan prasarana adalah segala perangkat pendukung, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang dapat membantu pelaksanaan eksekusi. Yang termasuk ke dalam sarana dan prasarana tersebut antara lain adalah fasilitas perkantoran, baik berupa gedung, sarana transportasi maupun pendukung kerja administrasi serta perlengkapan lainnya.

Faktor sarana dan prasarana ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan informasi. Saat ini penyediaan sarana dan prasana atau perlengkapan dengan teknologi dan informasi terkini di lingkungan peradilan seperti menjadi keharusan. Selain itu peningkatan kemampuan dan pengetahuan para aparat pengadilan juga menjadi faktor penentu keberhasilan pemanfaatan sarana dan prasarana terkini tersebut. Peningkatan yang simultan baik dari perangkat maupun aparat pengadilan tersebut diharapkan dapat mendukung kecepatan dan ketepatan kerja aparat pengadilan. Perlengkapan teknologi dan akses informasi yang cepat tentunya dapat membantu pelaksanaan putusan oleh aparat penegak hukum, khususnya pada saat di lapangan dan menghadapi masyarakat.[21]

Sementara standart peradilan untuk fasilitas pengadilan mengatur lorong-lorong yang terpisah dan desain lainnya untuk melindungi hakim, banyak fasilitas pengadilan yang lebih tua mengaharuskan hakim, staf pengadilan, menggunakan koridor, pintu masuk dan pintu keluar yang sama dari para pihak. Menjamin keselamatan di fasilitas-fasilitas tersebut merupakan tantangan tersendiri.

4.4  Faktor dukungan Keamanan

Faktor dukungan keamanan sangat penting dalam proses eksekusi, tanpa dukungan keamanan eksekusi paksa tidak bisa dilaksanakan. Banyak terjadi kegagalan eksekusi, karena pada saat dilakukan eksekusi pihak Kepolisian tidak bersedia mengamankan karena adanya tugas yang lebih penting. Adakalanya pihak Kepolisian berpihak kepada Termohon eksekusi, mengenai biaya untuk petugas keamanan yaitu pihak Kepolisian, dalam praktek diserahkan langsung kepada petugas keamanan dari Pemohon eksekusi.

Penyerahan biaya langsung dari Pemohon eksekusi kepada aparat keamanan untuk menghindari  tuntutan dari Pemohon eksekusi kalau eksekusi gagal sedangkan biaya sudah dikeluarkan,  menghindari kecurigaan petugas keamanan dari pihak kepolisian bahwa biaya eksekusi dipotong oleh Pengadilan, sebagai contoh pernah terjadi pada saat dilakukan eksekusi petugas keamanan meninggalkan tempat eksekusi karena merasa uang eksekusi yang diberikan melalui Pengadilan tidak sesuai dengan yang didengar oleh pihak keamanan akibatnya pihak kepolisian meninggalkan tempat eksekusi, akibat tidak ada pengamanan  Jurusita Pengadilan tidak dapat menghindar dari emosi Termohon eksekusi dengan menyerang  Jurusita, beberapa orang Jurusita  mengalami luka-luka.

Masalah lain tidak adanya bantuan keamanan baik akibat ketidaksediaan pihak keamanan sendiri dan juga karena tidak ada jaminan keamanan di lapangan, serta lokasi eksekusi jauh di pedalaman sehingga sulit dijangkau oleh pihak keamanan dan petugas eksekusi.

Perlindungan terhadap hakim juga harus dilakukan diluar fasilitas Pengadilan dan meliputi rute pulang pergi, destinasi bepergian dan dirumah, bidang fokus kunci bagi peradilan adalah meningkatkan keamanan, dan pembantu para hakim dalam mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri mereka sendiri ketika sedang tidak berada di fasilitas Pengadilan. Salah satu upaya tersebut adalah sebuah inisiatif bersama antara peradilan dan kepolisian untuk meningkatkan kesadaran terhadap potensi resiko keamanan ketika sedang tidak berada di fasilitas pengadilan, bagi para hakim keluarga mereka dan staf pengadilan. Hendaknya pengadilan mempunyai polisi khusus yang bisa mengamankan aparat peradilan dan Kantor Pengadilan sendiri.

4.5  Hambatan dari para pihak

Perlawanan hukum dari termohon dan pihak ketiga, adanya Peninjauan Kembali, mengajukan gugatan baru, Pemohon tidak menyediakan jaminan dalam eksekusi putusan serta merta senilai objek eksekusi, pengerahan preman-preman di tempat eksekusi. Tanah (objek eksekusi) tidak jelas batas-batasnya, Kepala Desa tidak mau membantu, letter C tidak ada, Penggugat sudah meninggal dan ahli waris tidak tahu batas-batasnya, eksekusi terhalang karena tanah objek eksekusi dikuasai pihak ketiga, tereksekusi tidak hadir, objek eksekusi yang akan disita tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Penetapan Ketua Pengadilan (beda alamat, beda Desa), tidak sesuainya antara putusan dengan kondisi objek eksekusi yang sesungguhnya, habisnya objek eksekusi pada putusan akhir dan pada saat peradilan tersebut harta tergugat mungkin telah dialihkan kepada pihak lain, objek eksekusi berada di luar negeri dan menurut asas peradilan Indonesia, objek eksekusi berada di tangan pihak ketiga yang tidak ikut di gugat, obyek gugatan tidak jelas, obyek gugatan tidak berada ditangan tergugat,  objek eksekusi milik negara/ telah berpindah kepada pihak ketiga, Kondisi geografis yang bermacam-macam, barang yang menjadi objek eksekusi berada ditangan pihak ketiga, objek eksekusi musnah, tanah yang akan dieksekusi berubah statusnya menjadi tanah negara. Adanya penyelesaian perkara eksekusi di luar pengadilan yang tidak dilaporkan oleh pemohon kepada pengadilan. Aset Termohon eksekusi milik negara, objek eksekusi masih tersangkut perkara. Mengerahkan massa untuk berdemo, melakukan tindak kekerasan di objek eksekusi, pemohon tidak menyetor biaya eksekusi.

 

Dari uraian tersebut diatas untuk  menjawab rumusan masalah No. 1-3 :

1.    Perlukah Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk memerintahkan lembaga atau instansi lain dalam pelaksanaan putusan pengadilan ?

Dari uraian tersebut diatas, Pengadilan adalah sebuah lembaga publik yang diberi kewenangan dan kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan memutus serta melaksanakan eksekusi atas putusan Pengadilan, tidak ada lembaga lain yang diberi kekuasaan seperti itu, kewenangan eksekusi adalah sepenuhnya merupakan kewenangan Ketua Pengadilan Negeri bahkan Mahkamah Agung saja tidak bisa mencampuri. Putusan Hakim adalah mahkota nya  para Hakim, sedangkan eksekusi merupakan marwahnya Ketua Pengadilan, tetapi di lapangan banyak terjadi hambatan terutama di bidang keamanan. Walaupun telah diatur dalam undang-undang bahwa eksekusi dilaksanakan dengan bantuan keamanan dalam hal ini Polri tetapi dilapangan terkadang menghadapi kendala karena tidak ada aturan yang memaksa. Perlu aturan tentang contempt of court untuk memperkuat kewenangan Ketua Pengadilan, sedangkan sebelum ada undang-undang yang memperkuatkan kedudukan dalam pelaksanaan eksekusi, perlu kerjasama antara Pimpinan Mahkamah Agung dan Pimpinan Polri untuk mempertegas aturan yang ada bahwa pihak keamanan untuk membantu pelaksanaan eksekusi

Keberanian Ketua Pengadilan di dukung dengan kerjasama yang baik dengan Kepolisian untuk melaksanakan eksekusi agar bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh pencari keadilan, sebuah organisasi dapat mencapai sukses apabila seorang atau lebih dari pimpinannya merupakan “contact people” (mahir bergaul) sehingga bertanggung jawab atas perolehan informasi.

2.    Bagaimanakah sistem pemberian informasi kepada pengadilan terkait pelaksanaan putusan perkara perdata?

 Informasi terkait tentang asset adalah kewajiban penggugat/pemohon eksekusi yang memberikan informasi untuk bisa menelusuri dan memastikan asset tergugat bisa di sita dan di eksekusi.  Kalau asset tergugat sudah diketahui sejak semula, akan memudahkan proses penyitaan eksekusi

3.      Apa yang menjadi landasan hukum kewenangan pengadilan dalam memerintahkan lembaga / instansi lainnya dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pengadilan untuk pelaksanaan putusan perkara perdata?

Landasan hukum kewenangan pengadilan sebagaimana tersebut dalam menjawab rumusan masalah No.1 karena pengadilan adalah Kekuasaan Kehakiman = Rechtelijke Macht = Judicial Power sebagai salah satu kekuasaan negara di bidang yudikatif disamping Kekuasaan Pemerintahan Negara (executive power) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislative power) hal ini tidak mengurangi adanya lembaga/ badan lain. Sistem pemberian informasi disesuaikan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

5.    Kesimpulan 

1.    Wewenang Eksekusi merupakan marwah Ketua Pengadilan. Mahkamah Agung saja tidak bisa mencampurinya. Perlu aturan contempt of court untuk memperkuat kewenangan Ketua Pengadilan, sebelum ada Undang-Undang yang memperkuatkan kedudukan dalam pelaksanaan eksekusi, perlu kerjasama antara Pimpinan Mahkamah Agung dan Pimpinan Polri untuk mempertegas aturan yang ada bahwa pihak keamanan untuk membantu pelaksanaan eksekusi.

2.    Sistem Pemberian Informasi terkait tentang asset adalah kewajiban penggugat/ pemohon eksekusi yang memberikan informasi untuk bisa menelusuri dan memastikan asset tergugat bisa disita dan di eksekusi.  Kalau asset tergugat sudah diketahui sejak semula, akan memudahkan proses penyitaan eksekusi.

3.    Landasan hukum kewenangan pengadilan adalah Kekuasaan Kehakiman = Rechtelijke Macht = Judicial Power sebagai salah satu kekuasaan negara di bidang yudikatif disamping Kekuasaan Pemerintahan Negara (executive power) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislative power) hal ini tidak mengurangi adanya lembaga/ badan lain. Sistem pemberian informasi disesuaikan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

4.    Terdapat beberapa hambatan dalam melaksanakan eksekusi, diantaranya: faktor sumber daya manusia, faktor sarana dan prasarana, faktor dukungan keamanan, hambatan dari para pihak, dan lain-lain.

Sebagai penutup, penulis mengutip kalimat dari Bernardus Maria Taverne seorang Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda yang mengatakan, “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”.

Hukum penuh dengan kandungan makna-makna. Para hakim yang merupakan warga negara elit karena memperoleh privilese untuk mengisi hukum itu dengan makna-makna. Hukum, Undang-Undang, itu hanya kertas dengan tulisan-tulisan umum dan abstrak. Di tangan para hakimlah ia menjadi keadilan yang hidup (Satjipto Rahardjo).

 

Seminyak, Denpasar 22 Maret 2022


 

Daftar Pustaka

Buku

Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, Page 288

Cees van Dam. European Tort Law. Oxford University Press. 2006.

Eddy O.S Hiariej. Bunga Rampai Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia. Bab Pembaruan Hukum Publik dan Hukum Privat. Penerbit Sekretariat Jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2019

Herri Swantoro, Dilema Eksekusi, Cetakan Kesatu. Penerbit Rayyana Komuniasindo.  2018

John Rawls, A Theory of Justice. Oxford University Press Inc. New York, 1973

Marni Emmy Mustafa. Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan dengan TRIPS-WTO, Edisi Kesatu.  Bandung: Penerbit PT. Alumni. 2007.

M. Yahya Harahap. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Cetakan Keempat. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 1993.

Purwoto S. Gandasubrata. Renungan Hukum. Cetakan 1. Penerbit IKAHI Cabang Mahkamah Agung. 1998.

R. Subekti. Hukum Acara Perdata. Cetakan Ketiga. Penerbit Binacipta. 1989

R. Dworkin. Law‟s Empire. Fontana Press. Harper Collins Publishers, London. 1991

Satjipto Rahardjo. Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan. Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan.

 

Peraturan Perundang- Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

HIR/RBg

Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

 

Makalah

Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. Mempersoalkan Unsur Keadilan Dalam Amar Putusan Hakim.

Satjipto Rahardjo. Komisi Yudisial Untuk Hakim dan Pengadilan Progresif, Bunga Rampai Komisi Yudisial.

Mardjono Reksodiputro. Komisi Yudisial: Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan dan Keluruhan Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim di Indonesia (Membentuk Kembali Peradilan Indonesia – Suatu Pengamatan Yuridis – Sosial).

 

Internet

Detiknews.com



*) Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat/ Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya Jakarta . Disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan oleh Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 2022 di Seminyak, Bali.

 

[1] Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945

[2] Independensi peradilan sangat penting pada kasus saat pengadilan dituntut untuk menyelesaikan perselisihan antara individu dan negara atau antara badan-badan pemerintah. Pada hakikatnya, independensi berarti bahwa hakim bebas untuk memutuskan berlawanan dengan (kemauan) pemerintah tanpa rasa takut akan dibalas kalau hukum menghendaki demikian. Alexander Hamilton berargumen bahwa standard berperilaku baik, yaitu seorang Hakim harus kokoh, lurus dan menyeluruh serta berintegritas baik, adalah perlindungan paling efektif terhadap pengaruh kekuasaan di luar Kekuasaan Kehakiman. J. Cliford Wallace, An Essay On Independece Of The Judiciary: Independence From What And Why, New York University Annual Survey of American Law 2001, 2001, hlm. 2; dalam buku Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan dengan TRIPS-WTO, Dr. Hj. Marni Emmy Mustafa, S,H., M.H., Bandung, Penerbit PT. Alumni 2007, hlm. 106

[3] Prof. Djokosoetono sebagaimana dikutip oleh R. Purwoto S. Gandasubrata., dalam Renungan Hukum, terbitan IKAHI Cabang Mahkamah Agung Cetakan 1 Maret 1998, hlm.84-85

[4]  Prof. Soetandyo Wignjosoebroto., Mempersoalkan Unsur Keadilan Dalam Amar Putusan Hakim, hlm.136-137

[5] Satjipto Rahardjo,. Op.Cit, hlm. 80

[6] Purwoto S. Gandasubrata., Op.Cit., hlm.76

[7] Cees van Dam, 2006, European Tort Law, Oxford University Press, hlm. 26, Richard D. Schwartz And Jerome H. Skolnick (Editor), 1970, Society And The Legal Order: Cases And Materials In The Sociology Of Law, Basic Books, Inc. Publisher., hlm. 17, disampaikan oleh Eddy O.S Hiariej dalam Buku Bunga Rampai Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Sekretariat Jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia Tahun 2019, dalam Bab Pembaruan Hukum Publik dan Hukum Privat, hlm.254

[8] Satjipto Rahardjo, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan dalam buku Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, hlm. 78

[9] Ibid Satjipto Rahardjo Makalah “Komisi Yudisial Untuk Hakim dan Pengadilan Progresif “ Bunga Rampai Komisi Yudisial, hal 301.

[10] Pepatah mengatakan “noblesse oblige” adalah kewajiban bagi seseorang yang berkedudukan tinggi untuk berperilaku secara terhormat (honourable) dan bertanggung jawab (responsible), ini adalah yang diharapkan dari setiap hakim berperilaku terhormat menaati kebebasan dan kenetralan). Kutipan dalam Komisi Yudisial: Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan dan Keluruhan Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim di Indonesia (Membentuk Kembali Peradilan Indonesia – Suatu Pengamatan Yuridis – Sosial) oleh Mardjono Reksodiputro, hlm. 45

[11] Menurut R. Dworkin, Law‟s Empire, Fontana Press, Harper Collins Publishers, London 1991, hlm. 49. , menguraikan yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sikap dari orang yang melakukan interpretasi tersebut, ”We need some account of how the attitude I call interpretive works form the inside, from the point of view of interpreters”. Oleh karena itu, hakim di dalam memecahkan fakta yang ada dan akhirnya memutuskan sikap yang harus diambil yakni memberikan keadilan, sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan disamping, norma, doktrin, kebiasaan dan putusan pengadilan menjadi dasar reasoning dari putusannya. Selain sumber hukum tersebut “point of view” hakim harus dilatarbelakangi dengan moral dan integritas yang tinggi.

Landasan pikir dari hakim, yang turut berpengaruh terhadap pola tindak dan juga sebagai pola nilai dalam rangka menginterpretasikan aturan-aturan hukum. Namun di sini harus diperhatikan bahwa norma, moral dan doktrin tersebut dapat dikatakan dengan tepat diberlakukan hanya jika hasilnya adalah kepantasan yakni bagi kepentingan masyarakat umum. ”Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought”, Hal itu bisa terjadi dalam memenuhi keadilan hukum ketika hakim itu mempunyai moral yang baik sebagaimana dimaksud dalam pedoman perilaku hakim akan menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. (John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press Inc. New York, 1973, hlm. 3) Bandingkan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa penafsiran hukum merupakan jantung hukum “

[12] Alm. Prof. Soetandyo Wignjosoebroto., Op.Cit, hlm.140-142

[13] Pemeriksaan perkara oleh hakim menurut Sudikno pada umumnya mengikuti beberapa tahapan: 1) Mengkonstatir fakta-fakta, yang diartikan sebagai menyimpulkan fakta-fakta atau bukti-bukti untuk menilai benar atau tidaknya terdapat peristiwa konkret. 2) Mengkualifisir peristiwa yang berarti mengelompokkan/ menggolongkan peristiwa konkret yang telah dilakukan pada tahap pertama, termasuk atau digolongkan pada peristiwa hukum apa. Jika digolongkan pada hukum pidana apakah sebagai kejahatan/pelanggaran dan jika digolongkan pada hukum perdata apakah pada peristiwa hukum yang bersumberkan pada undang-undang atau perjanjian?, 3) Mengkonstitusikan peristiwa hukum adalah tindakan hakim untuk menentukan haknya, memberikan keadilan atas suatu hubungan hukum antara peristiwa hukum dan subjek hukum.

 

[14] R. Subekti., Hukum Acara Perdata, Penerbit Binacipta, Cetakan ketiga Tahun 1989, hlm.130

[15] M. Yahya Harahap., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,      Cetakan keempat Tahun 1993, hlm. 1

[16] M. Yahya Harahap., Ibid., hlm.xxii

[17] Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, Page 288

[18] Diupload oleh detiknews pada tanggal 22 Maret 2022

[19] Alm. Prof. Djokosoetono sebagaimana dikutip Alm. Purwoto. S. Gandasubrata yaitu hakim harus dapat mempergunakan daya ciptanya, sehingga kesulitan yang dihadapi sebagai akibat dari pada kekosongan hukum itu dapat diatasi dngan sebaik-baiknya. Dengan harapan agar para hakim jangan berpikir dan bertindak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, tetapi selalu harus berfikir secara yuridis, sistematis dan teratur (gordend denken), sehingga setiap persoalan hukum yang dihadapi dapat dipecahkan secara baik dan benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Agar setiap penyelesaian hukum dapat dilakukan, sehingga dapat diterima secara yuridis, sosiologis maupun filosofis. Sebelum menjatuhkan putusannya hakim harus mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang dari segala segi, seobjektif dan seadil mungkin, karena putusannya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan dapat dipaksakan berlakunya oleh alat kekuasaan negara. Putusan hakim yang baik bukanlah putusan yang sedemikian muluk dan berkadar ilmiah setinggi langit sehingga sulit dimengerti pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi haruslah suatu putusan yang logis, “maton”, jelas dan terang yang dapat dimengerti para pencari keadilan berisi pertimbangan hukum yang tepat jelas dan cukup beralasan. Dari seorang Hakim diharapkan, bahwa ia dapat menerapkan hukum positif terhadap situasi/ kasus yang konkrit secara baik, benar dan adil serta sesuai dengan cita hukum dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu seorang hakim kecuali harus dijiwai rasa cinta kepada hukum dan keadilan, juga harus serta merasa dirinya terikat “committed”, peka dan tanggap kepada “mission care” nya untuk senantiasa menjunjung tinggi dan menegakkan hukum dan keadilan terhadap sesama manusia makhluk Tuhan berlandaskan filsafah Bangsa kita Pancasila, yang merupakan pula citra hukum tertinggi di Negara RI. Dalam Buku Purwoto S. Gandasubrata., Op.Cit, hlm.88-89.

[20] Herri Swantoro, Dilema Eksekusi, Penerbit Rayyana Komuniasindo, Cetakan I Tahun 2018, hlm.8-9

[21] Herri Swantoro, Ibid, hlm.102

Komentar