Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Integrasi Sistem dan Kelembagaan Pelaksanaan Putusan Perkara Perdata Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
Oleh: Dr. Hj. Marni
Emmy Mustafa, S.H., M.H *)
1.
Pendahuluan
Sesuai dengan Term Of Reference (TOR) Panitia FGD Pusdiklat Litbang Mahkamah Agung meminta saya untuk menjadi narasumber dengan judul: “Integrasi Sistem Dan Kelembagaan Pelaksanaan Putusan Perkara Perdata Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap” dengan rumusan masalah yang ditentukan yaitu: 1. Perlukah Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk memerintahkan lembaga atau instansi lain dalam pelaksanaan putusan perdata?; 2. Bagaimanakah sistem pemberian informasi kepada Pengadilan terkait pelaksanaan putusan perkara perdata?; 3. Apa yang menjadi landasan hukum kewenangan Pengadilan dalam memerintahkan lembaga / instansi lainnya dalam memberikan informasi yang dibutuhkan Pengadilan untuk pelaksanaan putusan perkara perdata?, selanjutnya dalam penguraian berikut penulis akan membatasi uraian sesuai dengan judul tersebut.
Dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur Kekuasaan Kehakiman, merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan, bebas dari campur tangan pihak Kekuasaan extra yudisial, kecuali
dalam hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945[1], dan hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian Pengadilan.[2]
Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum, maka sudah waktunya untuk memikirkan
dan menerapkan yang sesuai dengan pola hukum berdasarkan Pancasila, dengan
tidak meninggalkan sistem hukum dan “legal frame work” yang bersifat
universal ilmiah agar tidak menimbulkan keguncangan dan ketidakpastian hukum.
Apabila berdasarkan ajaran “Stufentheorie” dari Kelsen yang berpendapat
bahwa tatanan hukum itu berlandaskan pada suatu “Grundnorm” sebagai
kaedah hukum tertinggi, maka di Indonesia Pancasila-lah yang merupakan “Grundnorm”
daripada hukum Indonesia. Sistim formal (formele stelselmatigheid) dari
hukum yang bersifat ilmiah universal tetap berlaku, sedangkan sistem material (materiele
stelselmatigheid) hukum kita cari, yang sesuai dengan kepribadian bangsa
kita yakni filsafah dan pandangan hidup Pancasila. Untuk itu perlu digiatkan
karya penemuan hukm berupa “Oosterse vertolking” (penampilan keTimuran)
dan Oosterse vondsten” (penemuan keTimuran). [3]
Pancasila dan UUD 1945 merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang
bersifat majemuk perekat-pemersatu negara dan bangsa Indonesia. Walaupun rakyat
Indonesia serba ber-”Bineka” namun tetap “Tunggal Ika” berkat Pancasila dan UUD
1945.
Pada suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk dan
demokratik, yang implisit mengunggulkan cara penyelesaian konflik lewat upaya
dialogik untuk menemukan konsensus, realitas tentang adanya kebudayaan yang
majemuk harus diterima sebagai sesuatu yang given, yang tidak bisa
dihindari. Memaksakan keseragaman nilai, norma ataupun konsep berdasarkan
kekuatan undang-undang, dengan mekanisme kontrol yang sentral, hanya akan
melahirkan kontroversi-kontroversi. Penyeragaman konsep tentang realitas
kultural yang sebenarnya relatif adalah suatu tindakan yang tak hanya berkesan
otokratik dan sentralistik, akan tetapi juga merupakan kebijakan yang tidak
menghormati the cultural rights of the people yang terkandung dalam
prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia, yang dijamin tegaknya oleh konstitusi
nasional, dan juga oleh Kovenan Internasional berikut protokolnya. Hukum yang
ideal adalah hukum yang (dalam bentuk undang-undang sekalipun) akan tetap
berkarakter responsif dan fasilitatif untuk mengakomodasi kebutuhan rakyat yang
tengah mendambakan kehidupan yang damai dan sejahtera, tanpa adanya perlakuan-perlakuan
yang diskriminatif dan tidak sekali-kali dirasakan sebagai sesuatu yang adil.
Undang-undang seperti itu akan gagal memajukan terwujudkannya kehidupan yang
damai dan sejahtera, yang terbebas dari segala bentuk penindasan terhadap hak
kultural warga masyarakat dari satu tempat ke tempat lain.[4]
Sistem Peradilan di
Indonesia sekarang mewarisi suatu sistem yang pada hakikatnya bersifat liberal
individual dimana perlindungan dan penyelamatan serta kemerdekaan individu
menjadi ideologi, sedangkan amanat dari UUD 1945 sistem peradilan yang
diharapkan adalah ideologi yang didasarkan pada asas kekeluargaan yang sesuai
dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu ideologi Pancasila
yang berdasarkan kekeluargaan. Ideologi kekeluargaan menjadi penentu kearah
mana tujuan reformasi peradilan di Indonesia.[5]
Tugas/fungsi
Hakim/Kekuasaan Kehakiman dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 yang mengatur – mengenai tugas pokoknya yakni tugas mengadili
apabila terjadi sengketa/pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antara
sesama warga masyarakat (perseorangan maupun badan hukum) maupun antara
perseorangan dengan penguasa (badan hukum atau publik), ataupun antara
badan-badan administrasi satu sama lain.
Dalam negara hukum maka setiap sengketa
hukum atau perkara sebaiknya diselesaikan secara adil oleh suatu badan
Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pihak ketiga yang bersifat bebas, merdeka
serta netral dan yang diberi kewibawaan untuk secara bebas dapat
mempertimbangkan segala sesuatunya secara adil dan obyektif dan tidak memihak
dan yang putusannya/penyelesaiannya bersifat mengikat.[6]
Ketika terjadi
sengketa perdata antara satu pihak dengan pihak lain, penyelesaian sengketa
tersebut diajukan ke Pengadilan. Para pihak yang berperkara memiliki harapan
bukan hanya mendapatkan putusan atas perkara yang diajukan, tetapi juga
kepastian hukum dan keadilan atas penyelesaian sengketanya. Besarnya biaya
berperkara yang dikeluarkan dan lamanya waktu yang ditempuh oleh pihak yang merasa
dirugikan diharapkan akan akan mendapatkan pemulihan hak-haknya, untuk kemudian
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah.
Eksekusi akhir
dari pelaksanaan putusan pengadilan, para pihak yang berperkara memiliki
harapan untuk mendapat penyelesaian perkara secara cepat untuk memperoleh kepastian
hukum dan keadilan. Dalam tataran
implementasi, tidak semua pihak yang kalah mau secara sukarela melaksanakan
amar putusan, sehingga dibutuhkan bantuan dari alat negara, dalam hal ini
pengadilan, untuk melakukan tindakan-tindakan memaksa pihak yang kalah untuk
melaksanakan putusan (eksekusi).
Beberapa
kendala dan hambatan dalam pelaksanaan eksekusi antara lain aturan hukum yang saat
ini berlaku masih merupakan warisan dari zaman Belanda dahulu, untuk perlu pembaharuan
hukum acara perdata, salah satu fungsi hukum adalah mendefinisikan hubungan
antara anggota-anggota dalam masyarakat. Di sini berlaku postulat ubi
societas ibi ius. Artinya, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dalam
konteks ini hukum menegaskan perbuatan-perbuatan mana yang boleh dilakukan dan
mana yang tidak boleh dilakukan. Di satu sisi, hukum mengatur aktivitas antara
individu dan kelompok dalam masyarakat hukum. Hal ini disebut sebagai horizontal
direct effect. Di sisi lain, hukum mengatur hubungan antara individu
dengan negara sebagai vertical direct effect.[7]
Saat ini RUU Hukum
Acara Perdata telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) untuk
melakukan pembaharuan hukum acara perdata HIR dan RBg produk zaman kolonial
Belanda yang menggunakan pola pikir dan pengertian hukum
Barat, diharapkan agar hukum acara perdata yang baru dapat memikirkan
berdasarkan pola pikir hukum Indonesia sendiri, dengan menggali dan menemukan
penemuan hukum oleh bangsa Indonesia sendiri mengenai hukumnya sendiri. Reformasi Pengadilan dan peradilan kita
hendaknya berakar pada kosmologi dan habitat Indonesia. Misalnya, suatu
perubahan mendasar yang dilakukan “peradilan rekonsiliatif”, “peradilan
restoratif“, menunjukan bahwa memang dirasakan keperluan untuk membangun satu
model peradilan yang lebih berakar pada kosmologi Indonesia.[8]
Di samping
hambatan dan kendala eksekusi di bidang peraturan perundang-undangan, beberapa
hambatan lain diantaranya faktor sumber daya manusia, faktor sarana dan
prasarana, faktor dukungan keamanan, dan lain-lain.
2.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok masalah dalam
penelitian ini adalah:
1.
Perlukah
Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk memerintahkan lembaga atau instansi
lain dalam pelaksanaan putusan perdata?
2.
Bagaimanakah
sistem pemberian informasi kepada pengadilan terkait pelaksanaan putusan
perkara perdata?
3.
Apa
yang menjadi landasan hukum kewenangan pengadilan dalam memerintahkan lembaga /
instansi lainnya dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pengadilan untuk
pelaksanaan putusan perkara perdata?
3.
Pembahasan
Pengadilan adalah sebuah lembaga publik
yang diberi kewenangan dan kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili perkara,
tidak ada kekuasaan lain yang diberi kewenangan seperti itu, Pengadilan tidak
hanya punya legalitas tetapi juga legitimitas, secara sederhana bahwa
pengadilan membutuhkan kepercayaan rakyat melalui eksaminasi publik terhadap
putusan – putusan Pengadilan.
Eksekusi yang
merupakan produk putusan Hakim , dalam memutus perkara diperlukan kenegaraan para hakim ukurannya
kenegaraan apakah dalam menjalankan
pekerjaannya, seseorang itu di tuntun oleh wawasan yang luas dan jauh kedepan menyangkut bangsanya apakah putusan para hakim membawa berkah bagi bangsa dan negara yang juga memiliki kecintaan kepada
bangsa dan tanah air.[9]
Dalam membuat
putusan hukum yang baik in concreto, hakim memang wajib “mengingati” dan
merujuk ke pasal-pasal yang akan dijadikan dasar hukum untuk memutus suatu
perkara. Namun begitu, hakim juga harus “menimbang” dan “memperhatikan” hal-hal
lain, yang dapat dipertimbangkan untuk memutus perkara. Lebih dari itu, hakim
pun dalam kapasitasnya sebagai pengadil yang tak hanya berkewajiban membuat
putusan yang benar secara yuridis akan tetapi juga adil menurut tolok ukur yang
hidup sebagai moral sosial, maka putusan yang demikian akan dapat diterima,
tidak hanya oleh para pihak akan tetapi juga oleh masyarakat pada umumnya.[10]
Paradigma
kerja hakim di negeri-negeri berkembang yang berkultur majemuk sudah waktunya berubah
dan diubah. Hakim bukanlah lagi sebatas bereksistensi sebagai mulut yang
menyembunyikan kalimat-kalimat undang-undang. Hakim pun bukanlah piranti yang
dirancang untuk berlogika dan bekerja secara mekanik, melainkan manusia seutuhnya
yang puny kepekaan pada ihwal kemanusiaan dan kepedulian sosial Kalaupun hakim
harus bisa membaca bunyi kata-kata yang tertera secara tekstual di buku
undang-undang, hakim pun harus pula belajar dan pandai membuat interpretasi[11] yang tidak harfiah, yang
konotatif, agar mampu mengungkap norma-norma sosial yang secara kontekstual
melatari setiap preskripsi undang-undang.
Berbeda dengan
hukum undang-undang yang berada di ranahnya yang in abstracto,
putusan-putusan hakim adalah hukum yang dibentuk atau dibuat di ranahnya yang in
concreto, yang lebih kontekstual dan yang secara kultural dan moral lebih
situasional. Hakim modern yang terdidik untuk melayani kebutuhan hukum
masyarakat yang berkultur majemuk bukanlah kepanjangan tangan badan legislatif.
Hakim yang bertugas di daerah-daerah sangat diharapkan akan dapat memainkan
peran sebagai agen yang mampu mengantar hukum undang-undang yang diproduksi di
pusat untuk ditransformasi ke dalam suatu ekpresi kearifan dan keadilan yang
bisa diterima oleh warga masyarakat setempat. Penugasan hakim di daerah-daerah
tatkala harus menyelesaikan perkara-perkara setempat sebenarnya sangat
strategis. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, lain negeri
lain pula kaidah yang mesti dipakai untuk mengukur mana yang hak mana yang
batil.[12]
3.1 Pengertian Eksekusi
Eksekusi
dengan istilah pelaksanaan putusan yang dalam HIR Bab kesepuluh bagian kelima,
pengertian eksekusi disebut dengan istilah menjalankan putusan.[13] Menjalankan putusan
pengadilan, melaksanakan isi putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa
putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah
(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela.[14]
Eksekusi
ialah pelaksanaan putusan pengadilan, merupakan akhir dari penyelenggaraan
tugas peradilan dirumuskan dalam pasal 2 dan pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia.
Eksekusi
sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah
dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses
pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang
berkesinambungan drai keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib
beracara yang terkandung dalam HIR atau RBg.[15]
Setiap
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan selalu mengandung corak dan cara
penyelesaian yang bersifat kasuitis, dan setiap berbagai macam sifat kasuitis
yang melekat pada eksekusi terkadang tidak mungkin terselesaikan semata-mata
berdasar ketentuan perundang-undangan yang ada. Hampir setiap eksekusi memakai
cara penyelesaian tersendiri yang membutuhkan pengkajian dan profesionalisme.[16]
3.2 Dasar Hukum Eksekusi
Eksekusi
diatur dalam hukum acara perdata produk pemerintah Hindia Belanda yang masih
bersifat dualistis atau dualisme karena untuk Jawa dan Madura berlaku Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan untuk luar Jawa dan Madura
berlaku Rechtreglement
voor de Buitengewesten
(RBg).
Eksekusi
diatur dalam pelbagai perundang-undangan mengenai hukum acara perdata, yakni
khususnya Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR (untuk pulau Jawa dan Madura) serta
Pasal 206sampai 258 RBg (untuk daerah luar Jawa-Madura) dengan beberapa
pengecualian yang diatur dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (misalnya tentang
tidak diperlakukannya lembaga sandera Gijzeling). Disamping itu berlaku pula
Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBg yang mengatur tentang eksekusi untuk
menjalankan perbuatan tertentu dan Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBg yang
mengatur tentang putusan yang dapat dijalankan secara serta-merta (uit overbear
bij voorraad).
Selain itu
untuk memenuhi kebutuhan dalam praktek kadang-kadang dipergunakan ketentuan
dalam hukum acara perdata barat BRV untuk menyelesaikan eksekusi perkara in
concreto, misalnya ketentuan tentang hipotik dalam BW, maupun ketentuan
dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam mengeksekusi putusan
kadang-kadang harus diperhatikan juga Undang-Undang No. 49 Tahun 1960 tentang
PUPN.
Juga perlu
ditaati Peraturan Lelang No. 213/PMK. 06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang dalam hal diperlukan penjualan lelang pada waktu melakukan eksekusi
putusan. Demikian juga harus diterapkan peraturan mengenai kepailitan dalam Undang-Undang
Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU apabila mengeksekusi
orang/badan hukum yang dinyatakan pailit.
Selanjutnya
diatur di dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
54 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, Undang-Undang
No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2010 tentang Permintaan Bantuan Eksekusi dan Peraturan
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan KPPU jo. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2021 tentang Tata Cara
Pengajuan dan Pemeriksaan Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
3.3 Asas-Asas Hukum Eksekusi
a)
Eksekusi
dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap apabila
tereksekusi tidak melaksanakan putusan itu secara sukarela, dan menurut Pasal
180 HIR/ 191 RBG dimana suatu putusan dinyatakan dapat dilaksanakan secara
serta-merta atau suatu tuntutan provisi dikabulkan.
b)
Yang
dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir),
sedangkan putusan yang bersifat konstitutif dan declaratoir tidak
memerlukan eksekusi.
c)
Eksekusi
dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan, dilaksanakan oleh Panitera dan Jurusita dengan bantuan alat
kekuasaan negara dimana diperlukan.
d)
Eksekusi
dilaksanakan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka
dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikadilan tetap terpelihara.
3.4 Macam-Macam Eksekusi
a) Eksekusi riil yakni pelaksanaan secara
nyata perbuatan yang dibebankan/ dihukum dalam amar putusan kepada tereksekusi,
misalnya pengosongan rumah/tanah sengketa, pembongkaran tembok batas pekarangan
dan sebagainya (Pasal 200 HIR/ 218 RBG).
b)
Eksekusi
pembayaran sejumlah uang dilanjutkan eksekusi lelang bila tidak dibayar oleh
tereksekusi (Pasal 196 HIR/2017 RBG)
c) Eksekusi ganti rugi dalam hal eksekusi
riil tidak dapat dilaksanakan (Pasal 225 HIR/259 RBG)
d) Eksekusi putusan serta merta
e)
Eksekusi
putusan perdamaian
f) Eksekusi Hak Tanggungan Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996
4.
Hambatan Eksekusi
4.1 Faktor di Bidang Perundang-Undangan
HIR dan RBg sebagai hukum acara formil yang
diberlakukan produk zaman Belanda untuk itu perlu disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat.
Berbagai usulan para ahli untuk reformasi pelaksanaan sistem tentang
eksekusi untuk mencari solusi bagaimana pelaksanaan eksekusi bisa sesuai dengan
harapan pencari keadilan.
Contohnya panggilan melalui Kepala Desa, pemberitahuan
putusan yang sudah di cap stempel oleh Kepala Desa dianggap sah tanpa
mempertimbangkan apakah Kepala Desa telah menyampaikan putusan itu, contoh lain
tentang panggilan delegasi pernah terjadi panggilan dari Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat melalui panggilan delegasi. Itu
memakan waktu lamanya 1 tahun padahal jarak yang dipanggil hanya beda satu gedung
tetapi beda wilayah hukum pengadilan. Begitu juga dengan pemberitahuan putusan
dan pemberitahuan lelang juga sistem tentang acara perdata verstek, pembuktian
dan lain-lain yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dalam era
revolusi industri 4.0.
Untuk memaksa pihak tereksekusi melaksanakan putusan
pengadilan diperlukan aturan contempt of court sebagaimana praktek dalam
sistem hukum common law. Contempt of court menurut kamus hukum
adalah “setiap perbuatan
yang dapat dianggap sebagai mempermalukan (embarrass), menghalangi, atau
merintangi tugas peradilan dari badan-badan Pengadilan, ataupun segala tindakan
yang dapat mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan ini dilakukan
oleh seseorang dengan sengaja untuk menentang atau melanggar kewibawaan atau
martabat yang cenderung untuk menghalangi atau menggagalkan tugas peradilan,
atau dilakukan oleh seseorang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili
oleh Pengadilan yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah-perintahnya yang
sah atau lalai melakukan perbuatan-perbuatan yang dibebankan kepadanya”[17].
Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang
disampaikan oleh Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) di Komisi III
DPR RI pada tanggal 16 Februari 2022, terdapat norma penguatan dalam RUU Hukum
Acara Perdata, yaitu: 1) Pihak-pihak yang menjadi saksi dalam melakukan
penyitaan, 2) Jangka waktu pengiriman permohonan kasasi, memori kasasi, dan
kontra memori kasasi, 3) Kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke
pengadilan negeri, 4) Kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke para
pihak, 5) Syarat kondisi ketika Mahkamah Agung ingin mendengar sendiri para
pihak atau para saksi dalam pemeriksaan kasasi, 6) Penguatan batas waktu
pengiriman berkas perkara PK ke Mahkamah Agung, 7) Reformulasi pemeriksaan
perkara dengan cara singkat, 8) Pemeriksaan acara pemeriksaan perkara dengan
cara cepat dan, 9) Reformulasi jenis putusan. Dan penambahan
norma yang muncul atas adanya kebutuhan hukum yang sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat, antara lain: 1) Pemanfaatan teknologi dan informasi, pada saat
pemanggilan pihak yang berperkara dapat dilakukan secara elektronik, juga dalam
pengumuman penetapan, 2) Pemeriksaan perkara dengan cara cepat, kemudahan
berusaha bukan hanya dipengaruhi oleh regulasi dan perizinan, tapi juga waktu
tunggu yang dihabiskan dalam penyelesaian perkara di pengadilan.[18]
Dalam RUU yang sekarang sedang dibahas, hendaknya diatur penguatan
untuk pelaksanaan eksekusi dengan para pihak-pihak yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan.
4.2 Faktor Sumber Daya Manusia (SDM)
Untuk memutuskan
suatu perkara hakim harus mempunyai wawasan yang luas baik di bidang substantif
maupun prosedural. Oleh karena itu, harus mempunyai “knowledge profesionals”,
juga yang perlu diperhatikan harus rajin membaca sejarah dan teori
perundang-undangan dan juga hakim memerlukan ilmu pengetahuan terapan (applied
knowledge).[19]
Putusan hakim
menjadi kendala ketika mau di eksekusi hakim yang memutusnya tidak teliti,
contohnya kesalahan tentang nomor sertifikat, kesalahan nomor perkara, pada
waktu melakukan pemeriksaan ditempat dibuat gambar segi 4 saja, padahal di atas tanah
tersebut berdiri banyak bangunan permanen yang telah puluhan tahun berdiri, memutus
verstek tanpa bukti karena ada persekongkolan antara penggugat dan tergugat, memutus
perkara berdasarkan undang-undang baru yang telah dicabut , bunyi/redaksi
putusan tidak jelas , putusan yang saling bertentangan , Kalau hakim tidak
teiliti banyaknya tanah negara jatuh ke tangan mafia pertanahan. Perlu
ketelitian Ketua Pengadilan Negeri tentang sah tidaknya pemberitahuan putusan,
pemberitahuan pengosongan dan lain-lain.
Dalam buku “Dilema Eksekusi “karangan Dr.Herri
Swantoro SH.MH,halaman disebutkan
ketidak telitian Ketua Pengadilan Luwuk sebagai berikut :
Eksekusi lahan di Tanjung Sari pada 19 Maret
2018 itu telah terjadi error in object. Menurut Bupati Banggai Herwin
Yatim, ada pada dua lahan yang menjadi sengketa seluas 22m x 26,50m dan 6,70m x
13,35m (dua bidang tanah). Namun, dalam pelaksanaan eksekusi luasannya
berkembang menjadi sekitar 6 hektare dan kemudian berkembang lagi menjadi
sekitar 18 hektare. Herwin menjelaskan bahwa bukan hanya asset masyarakat yang
menjadi korban, melainkan juga asset Pemerintah Daerah. Di antaranya kantor
dinas tenaga kerja dan perumahan dinas pegawai transmigrasi. Kasus ini menjadi
pembelajaran Bersama, terutama bagi Ketua Pengadilan Negeri (KPN) yang
menangani kasus sengketa tanah. Dibutuhkan kecermatan saat menangani kasus
seperti ini, apalagi jika menyangkut kasus yang berlarut-larut penyelesaiannya
di Pengadilan. Makin berlarut-larutnya penyelesaian kasus menunjukkan ada
banyak masalah rumit di dalamnya.[20]
Ada juga Jurusita
yang nakal dalam menjalankan tugasnya contoh dicatat dalam berita acara pemberitahuan
pengosongan bahwa orangnya tidak
diketahui, diumumkan dalam koran yang kecil, ternyata orang yang akan di
eksekusi ada dalam tanah dan rumah yang
akan dikosongkan tersebut .
Masih terdapat Jurusita yang belum memahami ketentuan pada saat eksekusi, terutama mengenai eksekusi riil, belum seimbangnya dukungan/ pengembangan dan minim peningkatan kapasitas / kompetensi Panitera, Jurusita sebagai pelaksana eksekusi.
4.3 Faktor Sarana dan Prasarana
Adapun yang
dimaksud dengan faktor sarana dan prasarana adalah segala perangkat pendukung,
baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang dapat membantu pelaksanaan
eksekusi. Yang termasuk ke dalam sarana dan prasarana tersebut antara lain
adalah fasilitas perkantoran, baik berupa gedung, sarana transportasi maupun
pendukung kerja administrasi serta perlengkapan lainnya.
Faktor sarana dan
prasarana ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan informasi. Saat
ini penyediaan sarana dan prasana atau perlengkapan dengan teknologi dan
informasi terkini di lingkungan peradilan seperti menjadi keharusan. Selain itu
peningkatan kemampuan dan pengetahuan para aparat pengadilan juga menjadi
faktor penentu keberhasilan pemanfaatan sarana dan prasarana terkini tersebut.
Peningkatan yang simultan baik dari perangkat maupun aparat pengadilan tersebut
diharapkan dapat mendukung kecepatan dan ketepatan kerja aparat pengadilan.
Perlengkapan teknologi dan akses informasi yang cepat tentunya dapat membantu
pelaksanaan putusan oleh aparat penegak hukum, khususnya pada saat di lapangan
dan menghadapi masyarakat.[21]
Sementara standart peradilan untuk fasilitas pengadilan mengatur
lorong-lorong yang terpisah dan desain lainnya untuk melindungi hakim, banyak
fasilitas pengadilan yang lebih tua mengaharuskan hakim, staf pengadilan,
menggunakan koridor, pintu masuk dan pintu keluar yang sama dari para pihak.
Menjamin keselamatan di fasilitas-fasilitas tersebut merupakan tantangan
tersendiri.
4.4 Faktor dukungan Keamanan
Faktor
dukungan keamanan sangat penting dalam proses eksekusi, tanpa dukungan keamanan
eksekusi paksa tidak bisa dilaksanakan. Banyak terjadi kegagalan eksekusi,
karena pada saat dilakukan eksekusi pihak Kepolisian tidak bersedia mengamankan
karena adanya tugas yang lebih penting. Adakalanya pihak Kepolisian berpihak
kepada Termohon eksekusi, mengenai biaya untuk petugas keamanan yaitu pihak
Kepolisian, dalam praktek diserahkan langsung kepada petugas keamanan dari Pemohon
eksekusi.
Penyerahan
biaya langsung dari Pemohon eksekusi kepada aparat keamanan untuk menghindari tuntutan dari Pemohon eksekusi kalau eksekusi
gagal sedangkan biaya sudah dikeluarkan,
menghindari kecurigaan petugas keamanan dari pihak kepolisian bahwa
biaya eksekusi dipotong oleh Pengadilan, sebagai contoh pernah terjadi pada
saat dilakukan eksekusi petugas keamanan meninggalkan tempat eksekusi karena
merasa uang eksekusi yang diberikan melalui Pengadilan tidak sesuai dengan yang
didengar oleh pihak keamanan akibatnya pihak kepolisian meninggalkan tempat
eksekusi, akibat tidak ada pengamanan
Jurusita Pengadilan tidak dapat menghindar dari emosi Termohon eksekusi
dengan menyerang Jurusita, beberapa
orang Jurusita mengalami luka-luka.
Masalah lain tidak
adanya bantuan keamanan baik akibat ketidaksediaan pihak keamanan sendiri dan
juga karena tidak ada jaminan keamanan di lapangan, serta lokasi eksekusi jauh
di pedalaman sehingga sulit dijangkau oleh pihak keamanan dan petugas eksekusi.
Perlindungan terhadap hakim juga harus dilakukan diluar
fasilitas Pengadilan dan meliputi rute pulang pergi, destinasi bepergian dan
dirumah, bidang fokus kunci bagi peradilan adalah meningkatkan keamanan, dan
pembantu para hakim dalam mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri
mereka sendiri ketika sedang tidak berada di fasilitas Pengadilan. Salah satu
upaya tersebut adalah sebuah inisiatif bersama antara peradilan dan kepolisian
untuk meningkatkan kesadaran terhadap potensi resiko keamanan ketika sedang
tidak berada di fasilitas pengadilan, bagi para hakim keluarga mereka dan staf
pengadilan. Hendaknya pengadilan mempunyai polisi khusus yang bisa mengamankan aparat
peradilan dan Kantor Pengadilan sendiri.
4.5 Hambatan dari para pihak
Perlawanan
hukum dari termohon dan pihak ketiga, adanya Peninjauan Kembali, mengajukan
gugatan baru, Pemohon tidak menyediakan jaminan dalam eksekusi putusan serta
merta senilai objek eksekusi, pengerahan preman-preman di tempat eksekusi. Tanah
(objek eksekusi) tidak jelas batas-batasnya, Kepala Desa tidak mau membantu, letter
C tidak ada, Penggugat sudah meninggal dan ahli waris tidak tahu
batas-batasnya, eksekusi terhalang karena tanah objek eksekusi dikuasai pihak
ketiga, tereksekusi tidak hadir, objek eksekusi yang akan disita tidak sesuai
dengan yang tercantum dalam Penetapan Ketua Pengadilan (beda alamat, beda
Desa), tidak sesuainya antara putusan dengan kondisi objek eksekusi yang
sesungguhnya, habisnya objek eksekusi pada putusan akhir dan pada saat
peradilan tersebut harta tergugat mungkin telah dialihkan kepada pihak lain, objek
eksekusi berada di luar negeri dan menurut asas peradilan Indonesia, objek
eksekusi berada di tangan pihak ketiga yang tidak ikut di gugat, obyek
gugatan tidak jelas, obyek gugatan tidak berada ditangan tergugat, objek
eksekusi milik negara/ telah berpindah kepada pihak ketiga, Kondisi geografis
yang bermacam-macam, barang yang menjadi objek eksekusi berada ditangan pihak
ketiga, objek eksekusi musnah,
tanah yang akan dieksekusi berubah statusnya menjadi tanah negara. Adanya
penyelesaian perkara eksekusi di luar pengadilan yang tidak dilaporkan oleh
pemohon kepada pengadilan. Aset Termohon eksekusi milik negara, objek eksekusi
masih tersangkut perkara. Mengerahkan massa untuk berdemo, melakukan tindak
kekerasan di objek eksekusi, pemohon tidak menyetor biaya eksekusi.
Dari uraian tersebut diatas untuk menjawab rumusan masalah No. 1-3 :
1.
Perlukah Ketua Pengadilan diberikan kewenangan untuk
memerintahkan lembaga atau instansi lain dalam pelaksanaan putusan pengadilan ?
Dari
uraian tersebut diatas, Pengadilan adalah sebuah lembaga publik yang diberi
kewenangan dan kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan memutus serta
melaksanakan eksekusi atas putusan Pengadilan, tidak ada lembaga lain yang
diberi kekuasaan seperti itu,
kewenangan eksekusi adalah
sepenuhnya merupakan kewenangan Ketua Pengadilan Negeri bahkan Mahkamah Agung
saja tidak bisa mencampuri. Putusan Hakim adalah mahkota nya para Hakim, sedangkan eksekusi merupakan
marwahnya Ketua Pengadilan, tetapi di lapangan banyak terjadi hambatan terutama
di bidang keamanan. Walaupun telah diatur dalam undang-undang bahwa eksekusi
dilaksanakan dengan bantuan keamanan dalam hal ini Polri tetapi dilapangan
terkadang menghadapi kendala karena tidak ada aturan yang memaksa. Perlu aturan
tentang contempt of court untuk memperkuat kewenangan Ketua Pengadilan, sedangkan
sebelum ada undang-undang yang memperkuatkan kedudukan dalam pelaksanaan
eksekusi, perlu kerjasama antara Pimpinan Mahkamah Agung dan Pimpinan Polri
untuk mempertegas aturan yang ada bahwa pihak keamanan untuk membantu
pelaksanaan eksekusi
Keberanian Ketua Pengadilan di dukung dengan kerjasama yang baik dengan Kepolisian untuk melaksanakan eksekusi agar bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh pencari keadilan, sebuah organisasi dapat mencapai sukses apabila seorang atau lebih dari pimpinannya merupakan “contact people” (mahir bergaul) sehingga bertanggung jawab atas perolehan informasi.
2. Bagaimanakah
sistem pemberian informasi kepada pengadilan terkait pelaksanaan putusan
perkara perdata?
Informasi terkait tentang asset adalah kewajiban penggugat/pemohon eksekusi yang memberikan informasi untuk bisa menelusuri dan memastikan asset tergugat bisa di sita dan di eksekusi. Kalau asset tergugat sudah diketahui sejak semula, akan memudahkan proses penyitaan eksekusi
3. Apa yang menjadi landasan hukum kewenangan pengadilan dalam memerintahkan lembaga / instansi lainnya dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pengadilan untuk pelaksanaan putusan perkara perdata?
Landasan hukum kewenangan pengadilan sebagaimana tersebut dalam menjawab rumusan masalah No.1 karena pengadilan adalah Kekuasaan Kehakiman = Rechtelijke Macht = Judicial Power sebagai salah satu kekuasaan negara di bidang yudikatif disamping Kekuasaan Pemerintahan Negara (executive power) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislative power) hal ini tidak mengurangi adanya lembaga/ badan lain. Sistem pemberian informasi disesuaikan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
5. Kesimpulan
1. Wewenang Eksekusi merupakan marwah Ketua
Pengadilan. Mahkamah Agung saja tidak bisa mencampurinya. Perlu aturan contempt
of court untuk memperkuat kewenangan Ketua Pengadilan, sebelum ada
Undang-Undang yang memperkuatkan kedudukan dalam pelaksanaan eksekusi, perlu
kerjasama antara Pimpinan Mahkamah Agung dan Pimpinan Polri untuk mempertegas
aturan yang ada bahwa pihak keamanan untuk membantu pelaksanaan eksekusi.
2. Sistem Pemberian Informasi terkait
tentang asset adalah kewajiban penggugat/ pemohon eksekusi yang memberikan
informasi untuk bisa menelusuri dan memastikan asset tergugat bisa disita dan
di eksekusi. Kalau asset tergugat sudah
diketahui sejak semula, akan memudahkan proses penyitaan eksekusi.
3. Landasan hukum kewenangan pengadilan adalah
Kekuasaan Kehakiman = Rechtelijke Macht = Judicial Power sebagai
salah satu kekuasaan negara di bidang yudikatif disamping Kekuasaan
Pemerintahan Negara (executive power) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislative
power) hal ini tidak mengurangi adanya lembaga/ badan lain. Sistem
pemberian informasi disesuaikan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik.
4. Terdapat beberapa hambatan dalam melaksanakan eksekusi, diantaranya: faktor sumber daya manusia, faktor sarana dan prasarana, faktor dukungan keamanan, hambatan dari para pihak, dan lain-lain.
Sebagai
penutup, penulis mengutip kalimat dari Bernardus Maria Taverne seorang Majelis
Pidana Mahkamah Agung Belanda yang mengatakan, “Berikan aku hakim, jaksa,
polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa
undang-undang sekalipun”.
Hukum penuh
dengan kandungan makna-makna. Para hakim yang merupakan warga negara elit
karena memperoleh privilese untuk mengisi hukum itu dengan makna-makna. Hukum,
Undang-Undang, itu hanya kertas dengan tulisan-tulisan umum dan abstrak. Di
tangan para hakimlah ia menjadi keadilan yang hidup (Satjipto Rahardjo).
Seminyak, Denpasar 22 Maret 2022
Daftar Pustaka
Buku
Black’s
Law Dictionary, Fifth Edition, Page 288
Cees
van Dam. European Tort Law. Oxford University Press. 2006.
Eddy
O.S Hiariej. Bunga Rampai Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan
Indonesia. Bab Pembaruan Hukum Publik dan Hukum Privat. Penerbit Sekretariat
Jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2019
Herri Swantoro, Dilema
Eksekusi, Cetakan Kesatu. Penerbit Rayyana Komuniasindo. 2018
John Rawls, A
Theory of Justice. Oxford University Press Inc. New York, 1973
Marni
Emmy Mustafa. Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di
Indonesia dikaitkan dengan TRIPS-WTO, Edisi Kesatu. Bandung: Penerbit PT. Alumni. 2007.
M.
Yahya Harahap. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.
Cetakan Keempat. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 1993.
Purwoto
S. Gandasubrata. Renungan Hukum. Cetakan 1. Penerbit IKAHI Cabang
Mahkamah Agung. 1998.
R.
Subekti. Hukum Acara Perdata. Cetakan Ketiga. Penerbit Binacipta. 1989
R.
Dworkin. Law‟s Empire. Fontana Press. Harper Collins Publishers, London.
1991
Satjipto
Rahardjo. Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan. Bunga
Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan.
Peraturan
Perundang- Undangan
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
HIR/RBg
Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Makalah
Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto. Mempersoalkan Unsur Keadilan Dalam Amar Putusan Hakim.
Satjipto
Rahardjo. Komisi Yudisial Untuk Hakim dan Pengadilan Progresif, Bunga Rampai
Komisi Yudisial.
Mardjono
Reksodiputro. Komisi Yudisial: Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan dan
Keluruhan Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim di Indonesia (Membentuk Kembali
Peradilan Indonesia – Suatu Pengamatan Yuridis – Sosial).
Internet
Detiknews.com
*) Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat/
Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan Universitas
Jayabaya Jakarta . Disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan
oleh Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 2022 di Seminyak, Bali.
[1] Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Dasar 1945
[2] Independensi peradilan
sangat penting pada kasus saat pengadilan dituntut untuk menyelesaikan
perselisihan antara individu dan negara atau antara badan-badan pemerintah.
Pada hakikatnya, independensi berarti bahwa hakim bebas untuk memutuskan
berlawanan dengan (kemauan) pemerintah tanpa rasa takut akan dibalas kalau
hukum menghendaki demikian. Alexander Hamilton berargumen bahwa standard
berperilaku baik, yaitu seorang Hakim harus kokoh, lurus dan menyeluruh serta
berintegritas baik, adalah perlindungan paling efektif terhadap pengaruh
kekuasaan di luar Kekuasaan Kehakiman. J. Cliford Wallace, An Essay On
Independece Of The Judiciary: Independence From What And Why, New York
University Annual Survey of American Law 2001, 2001, hlm. 2; dalam buku
Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan
dengan TRIPS-WTO, Dr. Hj. Marni Emmy Mustafa, S,H., M.H., Bandung, Penerbit PT.
Alumni 2007, hlm. 106
[3] Prof. Djokosoetono
sebagaimana dikutip oleh R. Purwoto S. Gandasubrata., dalam Renungan Hukum,
terbitan IKAHI Cabang Mahkamah Agung Cetakan 1 Maret 1998, hlm.84-85
[4] Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto., Mempersoalkan Unsur Keadilan Dalam Amar Putusan Hakim,
hlm.136-137
[5] Satjipto Rahardjo,. Op.Cit, hlm. 80
[6] Purwoto S.
Gandasubrata., Op.Cit., hlm.76
[7] Cees van Dam, 2006,
European Tort Law, Oxford University Press, hlm. 26, Richard D. Schwartz And
Jerome H. Skolnick (Editor), 1970, Society And The Legal Order: Cases And
Materials In The Sociology Of Law, Basic Books, Inc. Publisher., hlm. 17,
disampaikan oleh Eddy O.S Hiariej dalam Buku Bunga Rampai Memperkuat Peradaban
Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Sekretariat Jendral Komisi
Yudisial Republik Indonesia Tahun 2019, dalam Bab Pembaruan Hukum Publik dan
Hukum Privat, hlm.254
[8] Satjipto Rahardjo, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan
dalam buku Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, hlm. 78
[9] Ibid Satjipto Rahardjo Makalah “Komisi Yudisial Untuk Hakim dan Pengadilan
Progresif “ Bunga Rampai Komisi Yudisial, hal 301.
[10] Pepatah mengatakan “noblesse oblige” adalah kewajiban bagi
seseorang yang berkedudukan tinggi untuk berperilaku secara terhormat (honourable)
dan bertanggung jawab (responsible), ini adalah yang diharapkan dari
setiap hakim berperilaku terhormat menaati kebebasan dan kenetralan). Kutipan
dalam Komisi Yudisial: Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan dan Keluruhan
Martabat Serta Menjaga Perilaku Hakim di Indonesia (Membentuk Kembali Peradilan
Indonesia – Suatu Pengamatan Yuridis – Sosial) oleh Mardjono Reksodiputro, hlm.
45
[11] Menurut R. Dworkin,
Law‟s Empire, Fontana Press, Harper Collins Publishers, London 1991, hlm. 49. , menguraikan yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana sikap dari orang yang melakukan
interpretasi tersebut, ”We need some account of how the attitude I call
interpretive works form the inside, from the point of view of interpreters”.
Oleh karena itu, hakim di dalam memecahkan fakta yang ada dan akhirnya
memutuskan sikap yang harus diambil yakni memberikan keadilan, sumber hukum
seperti peraturan perundang-undangan disamping, norma, doktrin, kebiasaan dan putusan
pengadilan menjadi dasar reasoning dari putusannya. Selain sumber hukum
tersebut “point of view” hakim harus dilatarbelakangi dengan moral dan
integritas yang tinggi.
Landasan pikir dari hakim, yang turut
berpengaruh terhadap pola tindak dan juga sebagai pola nilai dalam rangka
menginterpretasikan aturan-aturan hukum. Namun di sini harus diperhatikan bahwa
norma, moral dan doktrin tersebut dapat dikatakan dengan tepat diberlakukan
hanya jika hasilnya adalah kepantasan yakni bagi kepentingan masyarakat umum. ”Justice
is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought”, Hal itu bisa terjadi dalam memenuhi keadilan
hukum ketika hakim itu mempunyai moral yang baik sebagaimana dimaksud dalam
pedoman perilaku hakim akan menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan
masyarakat. (John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press Inc. New
York, 1973, hlm. 3) Bandingkan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa
penafsiran hukum merupakan jantung hukum “
[12] Alm. Prof. Soetandyo Wignjosoebroto., Op.Cit, hlm.140-142
[13]
Pemeriksaan
perkara oleh hakim menurut Sudikno pada umumnya mengikuti beberapa tahapan: 1)
Mengkonstatir fakta-fakta, yang diartikan sebagai menyimpulkan fakta-fakta atau
bukti-bukti untuk menilai benar atau tidaknya terdapat peristiwa konkret. 2)
Mengkualifisir peristiwa yang berarti mengelompokkan/ menggolongkan peristiwa
konkret yang telah dilakukan pada tahap pertama, termasuk atau digolongkan pada
peristiwa hukum apa. Jika digolongkan pada hukum pidana apakah sebagai
kejahatan/pelanggaran dan jika digolongkan pada hukum perdata apakah pada
peristiwa hukum yang bersumberkan pada undang-undang atau perjanjian?, 3)
Mengkonstitusikan peristiwa hukum adalah tindakan hakim untuk menentukan
haknya,
memberikan keadilan atas suatu hubungan hukum antara peristiwa hukum dan subjek
hukum.
[14] R. Subekti., Hukum
Acara Perdata, Penerbit Binacipta, Cetakan ketiga Tahun 1989, hlm.130
[15] M. Yahya Harahap., Ruang
Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan keempat Tahun 1993,
hlm. 1
[16] M. Yahya Harahap.,
Ibid., hlm.xxii
[17] Black’s Law Dictionary,
Fifth Edition, Page 288
[18] Diupload oleh detiknews
pada tanggal 22 Maret 2022
[19] Alm.
Prof. Djokosoetono sebagaimana dikutip Alm. Purwoto. S. Gandasubrata yaitu
hakim harus dapat mempergunakan daya ciptanya, sehingga kesulitan yang dihadapi
sebagai akibat dari pada kekosongan hukum itu dapat diatasi dngan
sebaik-baiknya. Dengan harapan agar para hakim jangan berpikir dan bertindak
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, tetapi selalu harus berfikir secara
yuridis, sistematis dan teratur (gordend denken), sehingga setiap
persoalan hukum yang dihadapi dapat dipecahkan secara baik dan benar dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Agar setiap penyelesaian hukum dapat dilakukan,
sehingga dapat diterima secara yuridis, sosiologis maupun filosofis. Sebelum
menjatuhkan putusannya hakim harus mempertimbangkan segala sesuatunya dengan
matang dari segala segi, seobjektif dan seadil mungkin, karena putusannya
mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan dapat dipaksakan berlakunya oleh
alat kekuasaan negara. Putusan hakim yang baik bukanlah putusan yang sedemikian
muluk dan berkadar ilmiah setinggi langit sehingga sulit dimengerti pihak-pihak
yang bersangkutan, tetapi haruslah suatu putusan yang logis, “maton”, jelas dan
terang yang dapat dimengerti para pencari keadilan berisi pertimbangan hukum
yang tepat jelas dan cukup beralasan. Dari seorang Hakim diharapkan, bahwa ia
dapat menerapkan hukum positif terhadap situasi/ kasus yang konkrit secara
baik, benar dan adil serta sesuai dengan cita hukum dan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Untuk itu seorang hakim kecuali harus dijiwai rasa
cinta kepada hukum dan keadilan, juga harus serta merasa dirinya terikat “committed”,
peka dan tanggap kepada “mission care” nya untuk senantiasa menjunjung
tinggi dan menegakkan hukum dan keadilan terhadap sesama manusia makhluk Tuhan
berlandaskan filsafah Bangsa kita Pancasila, yang merupakan pula citra hukum
tertinggi di Negara RI. Dalam Buku Purwoto S. Gandasubrata., Op.Cit, hlm.88-89.
[20] Herri Swantoro, Dilema Eksekusi, Penerbit Rayyana Komuniasindo, Cetakan
I Tahun 2018, hlm.8-9
[21] Herri Swantoro, Ibid, hlm.102
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
CONTOH SKRIP ROLE PLAY MEDIATOR DALAM PROSES MEDIASI
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tanya - Jawab “Kedudukan Aset Jaminan Milik Pihak Ketiga Sebagai Boedoel Pailit Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia”
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar